Latest Updates

Aku Si Calon pastor


Kata ibuku, pastor adalah status yang paling dihormati dan paling disegani di kampungku. Seorang pastor adalah seorang yang pandai, bermoral baik, dan sangat dekat dengan sesama dan Tuhan. Dengan predikat tersebut, seorang pastor selalu menjadi idola banyak orang dimanapun ia berada. Bahkan menurut ibuku, memiliki satu anak pastor atau lebih, maka dengan sendirinya martabat dan kedudukan serta status keluarga dalam masyarakan menjadi tingggi. Keluarga menjadi disegani dan dihormati oleh keluarga-keluarga yang lain.

Tanpa kusadari, kampanye tanpa biaya dari ibuku ini, telah mengantar saya pada sebuah perjalanan untuk menjadi seorang pastor. Berkat propaganda ini juga dan tanpa pertimbangan yang matang, tanpa memikirkan untung-ruginya, akupun mulai masuk dan menikmati sebuah peroses pendidikan yang cukup unik dan tidak semua orang merasakannya, apalagi perempuan. Inilah proses formasi, sebuah proses pembinaan bidang intelektua, psikis, rohani, kepribadian menuju kematangan diri, untuk menjadi seorang idola bagi banyak orang seperti kata ibuku.

Dalam sebuah ret-ret akhir tahun di seminari menengah, seorang imam tua yang bertugas sebagai rektor di seminari, juga pernah bilang, bahwa seorang calon pastor adalah orang yang paling bahagia hidupnya, karena ia dianugerahi dengan panggilan mahasuci. Seorang calon imam adalah orang yang paling istimewa dari yang lain karena ia adalah orang pilihan Allah. Seorang calon imam juga adalah seorang calon pemimpin gereja masa depan, sebuah profesi yang tidak pernah diperebutkan. Bahkan seorang imam adalah agents of change. Begitu terhormat dan istimewanya pilihan hidup ini,, aku membatin saat mendengar semua perkataan pastor rektor itu. Meskipun kata seorang guru agamaku, pastor itu, hanyalah sebuah profesi, yang diperoleh dengan jalan yang sedikit istimewa, yang kadang-kadang saat ini, keistimewaanya mulai pudar. Status pastor itu, sama dengan status kepala keluarga yakni sebuah komitmen. Maka ketika seorang pastor tidak komitmen dengan janji dan pilihannya, maka keistimewaan status itupun hilang.

Demikianpun dengan seorang yang hidup berkeluarga, ketika komitmen dan janji itu, diselewengkan maka kehidupan keluarga hanyalah sebuah janji yang disepakati manusia, yang bisa selesai, kapan saja. Namun guru agamaku ini tetap meyakinkan aku bahwa, semuanya panggilan hidup itu istimewa. Keistimewaannya dari semua panggilan itu, terletak pada komitmen dan setia dari setiap pribadi yang memilih dan menjalankan panggilan hidup tersebut.
Tahap demi tahap formasi calon pastor, aku lewati. Kebimbangan akan keistimewa, seorang yang berprofesi sebagai seorang pastor pun menghatuiku setiap saat. Di kala kebimbangan itu datang, saya mencoba mengingat pesan guru agamaku, “komitmen adalah keistimewaan dari setiap panggilan hidup”. Kalaimat ini, menjadi lagu yang terusku nyanyikan, untuk menepis seluruh keraguan dalam menapaki panggilan hidup yang “istimewa” ini. Komitmen menjadi kekuatan bagi untuk mencapai cita-cita, yang saya dan bersama ibu rindukan. Aku harus bahagia dengan pilihanku dan pilihan ibu. Aku tidak mau kecewakan ibu, janjiku dalam hati. Aku mau ibu dan seluruh keluargaku menjadi orang terpandang dan paling disegani dikampungku. Ibu aku janji untuk mengejar cita-cita, yang kau letakan pada pundakku ini.

Sayangnya semua pendapat dan harapanku, seakan dipatahkan oleh ayahku,” Sekolah jadi pastor itu, ngabisin waktu saja, tapi hasilnya sama saja, paling mimpinin misa. Belum lagi kalau diutus jadi petani ke tempat terpencil. Mendingan langsung jadi petani saja, biar bisa ngurusin kebun dan sawah kita sendiri, daripada ngurusi kebun atau sawah orang lain. Jangan kamu pikir, jadi pastor itu, akan membuat kamu menjadi orang yang paling istimewa, orang yang paling disegani, orang yang paling di hargai, tidak, sama sekali tidak. Buktinya kakakmu itu, …. Katanya pastor yang alim, baik hati, tapi ujung-ujungnya menikah juga. Nah itu… anak ketua dewan paroki, baru tiga bulan setelah dithabiskan…apa? Luntang lantung. Sekolah lama, ujungnya cuman ngurusin kebun dan sawah orang”! Dan jatuhlah harga diri seorang calon pastor dan pastor di tangan ayahku. Sejak dari awal ayahku memang tak menginginkan, siapun dari kami anak-anaknya menjadi seorang pastor.
Ini adalah amukan ayah kesekian kali kepadaku. Setiap kali liburan, sejak aku mengenyam pendidikan di seminari, hampir pasti ayah selalu menghina dan marah, karena pilihan hidupku ini. Awalnya, aku merasa kemarahan itu adalah sesuatu yang wajar dan biasa. Namun amukan ayah kali ini, seakan menelanjangiku dari seluruh keyakina dan cita-citaku. Di sudut kamarku, aku terus merenung seluruh perkataan ayahku. Hari itu, aku benar-benar ingin, memutar waktu dua kali atau sepuluh kali lebih cepat dari waktu biasanya, biar saya, cepat kembali ke seminari dan terhindar dari sindiran ayah, yang meremehkan profesi seorang pastor. Namun, kalau dipikir-pikir, apa yang ayah katakan itu, ada benarnya, namun kebenarannya di mana ya? tanyaku sambil merebahkan tubuhku pada tempat tidur bambu, mengakhiri hari itu.

Saat hari menyambutku di pagi hari, aku coba meyakinkan diri bahwa pendapat ayahku semalam itu, tidak benar-benar menjatuhkan semangatku. Aku yakin! Pemikiran ayah malah menjadi bahan bakar untuk semangatku, dalam menanggapi panggilan dan pilihan hidup ini. Aku akan buktikan bahwa aku bisa menjadi seorang pastor yang berkomitmen dengan pilihan. Aku akan perlihatkan kepada ayah, menjadi seorang pastor petani, juga adalah sebuah anugerah yang istimewa. Aku juga menunjukkan kepada ayah, bahwa apa yang ibu katakan menjadi seorang pastor adalah jalan untuk mengangkat martabat dan status sosial keluarga kami. Ahh…. yang ini jangan, saya harus menguburkan motivasi yang ada di belakang dukungan ibu ini. Aku harus menjadi pastor dengan motivasi yang murni. Aku harus menjadi pastor karena, aku merasa bahwa aku benar-benar dipanggil Tuhan dan aku siap menjadi pekerja dikebun anggur-Nya. Aku dipanggil menjadi seorang pastor bukan untuk menunjukan kepada orang-orang bahwa aku dan keluargaku hebat. Bukan juga untuk menaikan status sosial keluargaku. Juga bukan untuk membuat keluargaku disegani oleh orang-orang lain, seperti yang dimimpikan ibu.

Setelah satu bulan, bertahan dalam pedisnya sindiran ayah, akhirnya waktu untuk kembali ke Seminari pun tiba. Waktu yang sangat aku nanti-nantikan. Waktu yang kusebut sebagai pembebasan tanpa syarat. Di pengujung hari ini, akan mengalami suasana baru, suasana penuh persaudaraan. Aku akan kembali kesebuah tempat, di mana orang-orang berkumpul, untuk saling mendukung menuju cita-cita bersama hidupnya. Walaupun dalam hal lain, otoritatif dari seorang pembina atau pemimpin yang notabenenya adalah seorang biarawan atau religius sangatlah dominan. Bahkan nasib para calon pastor, layak atau tidak menjadi seorang pastor sangat bergantung pada para pembina tersebut. Peduli amat dengan semua itu. Aku harus secepatnya kembali ke seminari. Di sana aku ingin menyibukkan diriku dengan rutinitas seminari. Aku mau tak ada jadwal libur lagi, Aku mau, saat aku benar-benar berpredikat sebagai seorang pastor, baru aku kembali untuk bertemu orang tuaku. Bahkan bila boleh, setelah thabisan aku langsung diutus untuk berkarya ke tempat yang sangat jauh. Aku mau membuktikan kepada ayah bahwa pilihanku ini, adalah sebuah pilhan yang benar. Aku harus berkomitmen pada pilihan ini. Namun aku tahu, apa yang kuharapakan ini, berat untuk kuwujudkan. Karena sebelum, masih bnayak waktu liburan yang harus saya nikmati di rumah orang tuaku. Artinya aku akan tetap, mendengar keraguan bahkan ketidaksetujuan ayah tentang cita-citaku ini. Aku akan terus mendengar rendahnya predikat pastor dari mulut ayahku.

Aku memeluk dan mencium ibuku. Aku mohon pamit serta doa ibuku. Dengan hangat ibu menyambut pelukku. Lalu ibuku berpesan, “kehormatan keluarga kita, sepenuhnya ada padamu. Buktikanlah kepada ayahmu bahwa engkau bisa, mengangkat martabat dan kewibawaan keluarga kita di kampung ini”, lalu ibu memberi tanda salib di dahiku, salah satu kebiasaan ibu, saat anak-anaknya hendak melakukan perjalanan jauh. Saat aku berlangkah meninggalkan rumah, dari sudut kanan taman depan rumahku, ayah memanggilku dengan lembut. Suara lembut yang jarang bahkan tidak pernah aku dengar sebelumnya dari ayah. Ayah langsung memelukku erat. Saat itu juga, untuk pertamakalinya aku baru melihat ayah meneteskan air mata. Ia terus memeluku dengan erat. Seolah ia tidak ingin, aku pergi meninggalkannya. “Anakku, kita semua adalah orang-orang yang dipinggal oleh Tuhan. Aku dan Ibu juga dipanggil Tuhan untuk hidup berkeluarga. Sedangkan kamu, adalah orang yang dipanggil secara khusus. Dengarlah suara panggilan itu, jika menurut kamu, panggilan itu istimewa, maka berdoa dan berjuanglah supaya kamu menjadi orang yang terpilih dari sekian banyak yang telah dipanggil secara khusu itu. Sebab ingat banyak yang dipanggil sedikit yang dipilih”, Bisik ayah ketelingaku. Lalu ayah membiarkanku pergi.


2 Responses to "Aku Si Calon pastor"

  1. 1xbet korean registration, 1xbet casino bonus code
    1xbet korean is a casino-themed sportsbook that allows bettors to bet on live events from the comfort of their own 1xbet mongolia home.

    BalasHapus
  2. Top 10 best casino apps for iOS and Android
    1. Vegas Slots - Play the most popular casino games on mobile. This 의정부 출장안마 casino app has 고양 출장안마 an incredible collection 천안 출장마사지 of slots 이천 출장샵 games to 밀양 출장마사지 choose from. With a mobile

    BalasHapus